BANYUMAS - Dikutip dari DataIndonesia.id bahwasanya media sosial yang digunakan secara aktif di Indonesia per januari 2022 mencapai 191 juta dan jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 12,35 % dari beberapa tahun terakhir. Melihat trennya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Walau demikian, pertumbuhannya mengalami fluktuasi sejak 2014-2022. Kenaikan jumlah pengguna media sosial tertinggi mencapai 34,2% pada 2017. Hanya saja, kenaikan tersebut melambat hingga sebesar 6,3% pada tahun lalu. Angkanya baru meningkat lagi pada tahun ini. Adapun, Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Persentasenya tercatat mencapai 88,7%. Setelahnya ada Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%. Sementara, proporsi pengguna TikTok dan Telegram berturut-turut sebesar 63,1% dan 62,8%.
Seiring bertumbuhnya popularitas internet, tingkat depresi dan mood disorder dalam masyarakat pun turut naik – terutama pada generasi muda yang lebih dari separuh harinya dihabiskan di media sosial. Sampai-sampai, depresi kini menjadi salah satu penyakit yang cukup ‘mematikan’ bagi generasi muda. Berbagai riset tentang penggunaan media sosial telah menyimpulkan adanya hubungan antara media sosial dengan depresi.
Hubungan keduanya memang telah terlihat jelas, namun pertanyaannya: mengapa bisa? Apakah penggunaan media sosial yang berlebihan bisa menyebabkan depresi, atau mereka yang depresi cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, kita harus melihat kembali bagaimana media sosial tersebut ‘membajak’ psikologi manusia. Hampir setiap platform media sosial memiliki misi untuk menjaga penggunanya tetap online selama mungkin demi menghantarkan iklan sebanyak-banyaknya. Demi mencapai tujuan ini, aplikasi-aplikasi tersebut menggunakan fungsi-fungsi sosial sebagai sebuah adiksi yang bisa menjadi ‘penghargaan’ bagi penggunanya untuk tetap online di sana.
“Like atau Love, komentar, dan notifikasi yang kita terima di ponsel melalui aplikasi-aplikasi media sosial tersebut memberikan perasaan positif bahwa kita diterima secara sosial. Pikiran kita pun ‘dibajak’ oleh aplikasi-aplikasi ini. Dana riset dan pengembangan dialokasikan untuk menentukan bagaimana teknologi bisa menstimulasi dopamine dalam otak saat menggunakan produk media sosial supaya kita merasa senang dengan diri sendiri. Saat kita tidak mendapatkan dopamine dari aplikasi dan ponsel, kita pun merasa ketakutan, gelisah, dan kesepian. Obatnya bagi sebagian orang hanya dengan kembali ke ponsel untuk mendapatkan kesenangan tersebut.” (Darmoc, 2018)
Cara lain media sosial dapat merasuki psikologi penggunanya adalah melalui konsep yang dikenal sebagai emotional contagion – penularan emosi: fenomena di mana keadaan emosi secara tidak sadar ‘ditransmisikan’ antar individu. Sementara penularan emosi memang sangat bisa dirasakan lewat interaksi tatap muka, namun ternyata dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, dan perasaan lainnya bisa ditularkan kepada orang lain lewat media sosial. Dalam sebuah studi yang dilakukan E. Ferrara dan Z. Yang, sekitar 3.800 pengguna media sosial dipilih secara acak untuk dites mengenai penularan emosi yang terbaca di tulisan dalam konten yang mereka baca secara online. Studi ini menemukan fakta bahwa keadaan emosi mudah dimanipulasi oleh konten media sosial dan sesederhana membaca konten atau tulisan yang ditulis penuh emosi bisa memicu perasaan yang sama bagi pembacanya. Dalam kata lain, saat pengguna media sosial melihat tulisan sedih temannya yang di-post di media sosial, mereka bisa seketika merasakan kesedihan tersebut. Situasi ini sesungguhnya bisa menjadi bahaya terutama saat lanskap media sosial dipenuhi fenomena seperti ruang gema dan gelembung informasi seperti yang marak beredar saat ini.
Secara tidak langsung, media sosial menjadi semacam katalis bagi perilaku destruktif seperti membanding-bandingkan, cyberbullying, dan pencarian pengakuan. Ini semua merupakan efek samping dari bagaimana aplikasi-aplikasi tersebut didesain memang agar penggunanya memamerkan sisi indah dari hidupnya; mengunggah konten yang terlihat bahagia dan membuang yang tidak menarik dan cenderung jelek. Saat kita melihat kurasi konten kehidupan orang lain, kita pun otomatis akan membandingkan hidup mereka – yang seakan terlihat indah dan sempurna – dengan bagian buruk dari hidup kita. Sehingga bisa memunculkan perasaan malu, rendah diri, dan inferior. Perasaan-perasaan ini bahayanya bisa membawa kita lebih jauh lagi ke perilaku destruktif seperti pencarian pengakuan diri – atau bahasa sederhanya: cari perhatian.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penggunaan media sosial berlebih menjadi penyebab depresi, ataukah orang yang dilanda depresi akan cenderung menggunakan media sosial dengan berlebihan? Masih perlu studi lebih lanjut dari berbagai pihak untuk bisa mencari tahu jawaban dari pertanyaan pamungkas abad ini tersebut. Meski begitu, ada langkah sederhana untuk setidaknya bisa menghindarkan kita dari kemungkinan terdampak penyakit mental tersebut, mulai mengurangi penggunaan media sosial dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan koneksi kita di dunia nyata. Baik itu bertemu dan bercengkrama dengan sahabat atau keluarga, atau melakukan hobi-hobi yang mungkin telah lama kita tinggalkan sejak kita terlalu asik dengan media sosial.
Penulis adalah Muhamad Irfan, S.Pd., C.PS, Kepala Sekolah SMP ZIIS Banyumas) yang saat ini sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UNSOED.